Ketika memulai usaha, setelah menentukan produk yang akan dijual, biasanya pertanyaan yang muncul adalah ‘berapa harga yang pantas untuk produk ini?’. Ada beberapa teknik pemasaran psikologis (psychological marketing) yang dapat kita terapkan untuk membuat harga produk kita menarik di benak konsumen. Tulisan ini akan membahas mengenai strategi pertama untuk menetapkan harga yang dapat memengaruhi perilaku pembelian konsumen.
The Charming Price
Istilah ini merupakan yang diberikan psikolog untuk harga atau kombinasi angka yang nyaman dilihat. Kita sering menjumpai harga dengan akhiran angka 9. Tanpa kita sadari, penggunaan angka 9 pada harga barang mempengaruhi buying behaviour (perilaku pembelian) seseorang. Hal ini telah dibuktikan secara saintifik oleh berbagai literatur sebelumnya.
Contoh sederhananya adalah Ketika kita melihat ada dua buah kaos yang dijual dengan harga Rp100.000 dan Rp99.000. Secara natural kita pasti merasa harga yang Rp99.000 ribu terasa lebih murah. Atau yang lebih ekstrem apabila kaos tersebut dijual dengan harga Rp99.999. Padahal satu rupiah itu tidak ada pecahannya, dan ujung-ujungnya kita akan bayar Rp100.000 juga. Tapi entah kenapa perasaan ketika melihat harga Rp99.999 itu berbeda.
Riset yang dilakukan oleh Schinler & Kibarian (1936) membuktikan peningkatan penjualan akibat penggunaan harga dengan label berakhirnya 99. Mereka menggunakan dua buah harga untuk produk yang sama (missal $29.99 dan $30.00). Penelitian tersebut membuktikan bahwa perubahan yang sangat kecil (hanya dengan mengurangi 1 sen) dapat memengaruhi perilaku pembelian konsumen. Kemudian hasilnya disajikan dengan menghitung berapa total uang yang dihabiskan konsumen.
Grafik di atas menunjukkan bahwa orang-orang yang mendapatkan katalog dengan harga berakhiran 99, rata-rata 8% membeli lebih banyak atau mau mengeluarkan uang lebih banyak dibandingkan orang yang mendapatkan katalog dengan harga bulat.
Apa penyebab penggunaan harga berakhiran 9 menjadi sangat powerful?
Di dunia pemasaran penggunaan angka 9 pada harga sudah sejak kurang lebih 80 tahun yang lalu seiring maraknya bisnis ritel di Amerika Serikat. Menurut Ginzberg (1936) penggunaan angka 9 ini pertama digunakan untuk mencegah pencurian oleh karyawan toko.
Pada tahun 1800-an pemilik ritel memililiki kendala bahwa jumlah barang yang keluar tidak sesuai dengan uang yang masuk ke mesin kasir. Setelah diselidiki, penyebabnya adalah penjaga kasir yang menggelapkan uang yang diterima. Sistem transaksi di kasir toko dahulu tidak memiliki struk atau bukti pembayaran, hanya mengandalkan kepercayaan saja. Akhirnya diciptakanlah alat yang sesuai dengan kondisi tersebut yang diberi nama cash register dan penjaganya diberi nama cashier. Namun dengan adanya alat tersebut penjaga kasir masih bisa menilap uang, karena harganya bulat ($2, $4, dst).
Berdasarkan kondisi tersebut, sang pemilik mengubah harga menjadi ganjil, dengan mengurangi harga 1 sen, agar pembeli mendapatkan kembalian. Misal harga roti yang awalnya $2 menjadi $1.99 sen. Karena jarang orang yang membawa recehan, biasanya sang pembeli membayar dengan harga bulat dan mendapatkan kembalian 1 sen. Karena ada kembali, maka otomatis kasir mau tidak mau harus meng-input uangnya ke dalam cash register agar drawer dapat terbuka untuk memberikan uang pecahan 1 sen kepada pembeli. Dengan begitu struk pasti keluar dan transaksi terekam dalam mesin.
Mengenai latar belakang psikologis bagaimana harga berakhiran 99 dapat memengaruhi perilaku pembelian, Shy (1999) mengatakan setidaknya ada empat alasan:
- Rounding Illusions
Alam bawah sadar manusia cenderung fokus ke angka paling depan. Jika kita menuliskan harga Rp100.000, alam bawah sadar kita akan menangkap pesan bahwa harganya seratus ribuan. Namun jika harga yang dipasang adalah Rp99.000, maka alam bawah sadar kita menerima bahwa harganya sembilan puluh ribuan. Secara alam bawah sadar alam bawah sadar tidak dapat melihat angka di sebelah kanan.
- Receive Change
Alam bawah sadar kita menyukai jika melakukan sebuah transaksi, ketika kita memberikan sesuatu maka kita akan mendapat baliknya, berupa kembalian. Ketika kita menerima kembalian kita merasakan kepuasan secara tidak sadar. Hal ini menjadi driving factor yang mengubah behaviour dari customer untuk menyukai angka ganjil sehingga mendapatkan kembalian.
- Attractive Digits
Peneliti melaporkan bahwa angka 9 termasuk ke dalam attractive digits, atau angka yang mayoritas disukai atau menggairahkan bagi orang-orang tertentu. Bagaimana kita menyukai warna atau model, begitupun dengan harga. Untuk sebuah produk. harga yang mengandung angka yang disukai akan lebih diminati.
- Image of a discount retailer
Jika kita perhatikan, di toko-toko yang berlabel toko diskon, seperti toko serba Rp5000, mereka sengaja mengemas produk dengan kemasan yang sederhana. Atau ketika melakukan promosi, mereka menggunakan warna hitam-putih. Intinya strategi tersebut membuat orang merasa “oh, toko ini murah karena memotong biaya yang tidak perlu”. Atau di toko buku diskon (seperti di Palasari Bandung), jika rak-raknya berdekatan dan sempet, kita merasa wajar saja harganya murah karena toko menurunkan biaya pelayanan. Target pembeli adalah orang-orang yang tidak peduli dengan kemasan, hanya peduli dengan harga yang murah.
Penggunaan angka 9 pada akhiran harga berdampak signifikan dalam meningkatkan penjualan dibandingkan harga bulan 0. Jadi, ayo terapkan strategi penentuan harga berakhiran 9 ini pada barang atau jasa yang dijual! Apabila akan menjual produk rendang kemasan 250gr, dibandingkan menjual dengan harga bulat Rp100.000 akan lebih menarik bagi pembeli jika dijual dengan harga Rp99.000.
Referensi
Ginzberg, E. (1936). Customary Prices. The American Economic Review, 26(2), 296-296.
Schindler, R. M., & Kibarian, T. M. (1996). Increased consumer sales response though use of 99-ending prices. Journal of Retailing, 72(2), 187-199. Shy, O. (2000). Why 99 Cents. Dissertation. Stockholm: University of Haifa.
" Ayo terapkan strategi penentuan harga berakhiran 9 pada barang atau jasa yang dijual untuk meningkatkan penjualan"